![]() |
| Dok, foto; Pemred MSRI, Slamet Pramono: Membaca Tanpa Bias adalah Fondasi Intelektual Jurnalisme Profesional. |
MSRI, SURABAYA – Pemimpin Redaksi Media Suara Rakyat Indonesia (MSRI), Slamet Pramono—akrab disapa Bram—menegaskan bahwa kualitas jurnalisme tidak semata ditentukan oleh kemampuan menulis, melainkan bermula sejak tahap paling fundamental: cara wartawan membaca, memahami, dan memaknai informasi.
Penegasan tersebut disampaikan Bram dalam sesi edukasi dan pembekalan internal kepada seluruh wartawan MSRI, yang secara khusus menyoroti urgensi membaca tanpa bias sebagai prasyarat utama profesionalisme pers.
Menurutnya, bias kerap bekerja secara laten dan sistemik, memengaruhi cara berpikir wartawan sebelum proses penulisan dimulai.
“Kesalahan jurnalistik sering kali tidak lahir di meja redaksi, tetapi sejak cara wartawan membaca realitas. Ketika membaca sudah dikendalikan oleh prasangka, kepentingan, atau asumsi personal, maka fakta berisiko dipelintir untuk menyesuaikan opini,” tegas Bram.
Ia menjelaskan bahwa bias dalam membaca dapat muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari keberpihakan emosional terhadap narasumber, penafsiran data yang selektif, hingga kecenderungan hanya menyerap informasi yang menguatkan keyakinan awal.
Praktik demikian, lanjutnya, tidak hanya melemahkan kualitas berita, tetapi juga bertentangan dengan prinsip dasar pers yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Merujuk Pasal 6 huruf c UU Pers, Bram mengingatkan bahwa pers nasional berkewajiban mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar. Kewajiban tersebut, menurutnya, mustahil dipenuhi apabila wartawan sejak awal membaca informasi secara bias dan tidak kritis.
Lebih lanjut, Bram menegaskan bahwa membaca tanpa bias merupakan perwujudan langsung dari Kode Etik Jurnalistik, khususnya:
• Pasal 1, yang menegaskan bahwa wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk;
• Pasal 3, yang mewajibkan wartawan selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
“Independensi wartawan tidak hanya diuji pada keberanian menulis, tetapi pada kejujuran intelektual saat membaca dan menilai fakta. Tanpa itu, independensi hanya menjadi slogan,” ujar Bram.
Ia menekankan bahwa membaca tanpa bias berarti membuka ruang bagi berbagai sudut pandang, menempatkan fakta dalam konteks yang utuh, serta menjadikan verifikasi sebagai disiplin utama.
Wartawan, katanya, tidak boleh membaca untuk membenarkan dugaan, tetapi membaca untuk menemukan kebenaran faktual.
Bram juga mengingatkan bahwa integritas wartawan merupakan fondasi kepercayaan publik terhadap pers. Dalam konteks ini, ia mengutip Pasal 7 ayat (2) UU Pers, yang menegaskan bahwa wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik sebagai pedoman moral dan profesional dalam menjalankan tugasnya.
“MSRI harus dikenal sebagai media yang tajam dalam analisis, adil dalam penilaian, dan berimbang dalam penyajian. Komitmen itu bukan sekadar sikap editorial, tetapi amanat undang-undang dan kode etik yang wajib ditaati,” tandasnya.
Melalui pembekalan ini, Bram berharap seluruh wartawan MSRI semakin matang secara intelektual dan profesional, sekaligus konsisten menjaga marwah pers sebagai pilar demokrasi yang independen, bertanggung jawab, dan berpihak pada kepentingan publik.
Redaksi MSRI
dibaca

Posting Komentar
Hi Please, Do not Spam in Comments