Embung Desa Diduga Dijarah, Tanah Uruk Dialihkan ke Lahan Pribadi: Praktik Terstruktur yang Mengarah ke Tambang Ilegal dan Tipikor?

Embung Desa Diduga Dijarah, Tanah Uruk Dialihkan ke Lahan Pribadi: Praktik Terstruktur yang Mengarah ke Tambang Ilegal dan Tipikor?
Gambar ilustrasi

MSRI, GRESIK - Dugaan penyimpangan pengelolaan aset desa kembali mencuat di Kabupaten Gresik. Tim investigasi Media Suara Rakyat Indonesia (MSRI) bersama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) menemukan indikasi kuat adanya pengalihan dan pemanfaatan tanah hasil galian embung desa yang diduga dilakukan tanpa dasar hukum dan perizinan resmi.

Temuan ini merupakan pengembangan dari pemberitaan sebelumnya, yang mengungkap bahwa tanah uruk hasil pengerukan embung desa di Desa Pundut Teratai, Kecamatan Cerme, diduga tidak digunakan sesuai peruntukannya.

Berdasarkan hasil investigasi lapangan dan keterangan sejumlah narasumber, galian embung desa tersebut diketahui dilakukan oleh pihak berinisial UDN dan JN, kemudian tanahnya dialokasikan keluar desa dan dimanfaatkan untuk pengurukan lahan di Desa Putat.

Padahal, berdasarkan ketentuan pengelolaan aset desa, tanah hasil galian embung desa tidak diperbolehkan untuk diperjualbelikan atau dimanfaatkan bagi kepentingan pribadi, kecuali melalui mekanisme yang sah, transparan, dan disepakati melalui musyawarah desa.

Dialihkan ke Lahan Pribadi, Kini Mengalami Pengerasan

Tim investigasi memperoleh informasi dari sejumlah sumber, baik dari internal desa maupun warga sekitar, yang mengarah pada satu lokasi pengurukan lahan seluas kurang lebih 1 hektare di Desa Putat. Tanah uruk tersebut diduga berasal dari embung Desa Pundut Teratai dan dialihkan kepada pihak tertentu, yang disebut-sebut berinisial/akrab disapa Aples.

Hasil penelusuran di lokasi menguatkan dugaan tersebut. Selain pengurukan tanah, area tersebut kini juga mengalami pengerasan lahan menggunakan material limstone (batu kapur). Kondisi ini menimbulkan dugaan lanjutan adanya aktivitas pemanfaatan material galian yang mengarah pada praktik pertambangan tanpa izin.

“Truk keluar-masuk membawa tanah sudah lama. Awalnya kami kira proyek desa, tapi ternyata untuk uruk lahan pribadi. Sekarang malah dilakukan pengerasan pakai batu kapur. Tidak pernah ada sosialisasi atau musyawarah desa,” ungkap seorang warga Desa Putat kepada tim investigasi, Kamis (18/12/2025).

Tim juga melakukan klarifikasi ke kantor Desa Putat, dan pihak desa juga menyebut adanya oknum media yang mengbackup aktivitas itu, oknum media tersebut berinisial DVD, kita akan galih terus siapa oknum media tersebut yang backup. Secara tugas sudah melanggar kode etik jurnalistik bahwa wartawan tidak untuk membackup dan membenarkan adanya aktivitas pengurukan lahan tersebut  Namun, hingga saat ini tidak ditemukan dokumen perizinan resmi, baik berupa Izin Usaha Pertambangan (IUP), izin pengangkutan dan penjualan material, maupun dokumen sah pemanfaatan aset desa.

Informasi yang dihimpun menyebutkan bahwa kegiatan tersebut hanya berlandaskan pada “izin sepengetahuan”, sebuah istilah yang tidak dikenal dalam sistem hukum pertambangan maupun tata kelola aset desa.

Ironisnya, di tengah aktivitas yang diduga melanggar aturan tersebut, keberadaan alat berat, material limstone, dan lalu lintas truk pengangkut terkesan dibiarkan. Aparat Penegak Hukum (APH) pun dinilai belum menunjukkan langkah tegas, sehingga memunculkan persepsi pembiaran di tengah masyarakat.

Tinjauan Hukum: Potensi Pelanggaran Serius

1. Dugaan Pelanggaran UU Minerba

Merujuk Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara:

• Pasal 158

- Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa izin dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar.

• Pasal 161

- Setiap orang yang menampung, memanfaatkan, mengangkut, atau menjual mineral yang tidak berasal dari pemegang izin dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda hingga Rp100 miliar.

Pemanfaatan tanah uruk embung desa serta penggunaan material limstone tanpa izin resmi berpotensi kuat masuk dalam kategori pertambangan ilegal.

2. Dugaan Pelanggaran UU Desa

Mengacu pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa:

• Pasal 76 ayat (1)

- Aset desa dilarang dialihkan atau dipindahtangankan kecuali untuk kepentingan umum dan melalui prosedur yang sah.

• Pasal 77

- Pengelolaan kekayaan desa wajib dilakukan secara transparan, akuntabel, dan berorientasi pada kepentingan masyarakat.

Jika tanah embung desa benar dialihkan tanpa musyawarah desa dan persetujuan resmi, maka dugaan pelanggaran tata kelola aset desa menjadi sangat serius.

3. Indikasi Tindak Pidana Korupsi

Berdasarkan UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tipikor:

Pasal 2 ayat (1)

Perbuatan melawan hukum yang memperkaya diri sendiri atau orang lain dan merugikan keuangan negara diancam pidana berat.

• Pasal 3

- Penyalahgunaan kewenangan yang merugikan keuangan negara diancam pidana hingga 20 tahun penjara.

LSM menilai, tanah embung desa merupakan aset publik yang melekat pada keuangan desa. Jika dimanfaatkan untuk kepentingan pihak tertentu tanpa dasar hukum, maka indikasi kerugian keuangan desa dan negara patut ditelusuri secara mendalam.

Desakan Audit dan Penegakan Hukum

Atas temuan tersebut, tim investigasi MSRI bersama LSM mendesak:

• Audit menyeluruh terhadap aset embung desa

• Pemeriksaan legalitas pemanfaatan tanah uruk

• Penelusuran alur distribusi dan penggunaan material limstone

• Penindakan tegas terhadap pihak-pihak yang terbukti melanggar hukum

Hingga berita ini diterbitkan, pihak-pihak yang disebut dalam pemberitaan, pemerintah desa terkait, maupun instansi berwenang belum memberikan keterangan resmi. Redaksi MSRI tetap membuka ruang hak jawab dan klarifikasi sesuai dengan prinsip jurnalistik dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

(Tim/Red)

Baca Juga

dibaca

Post a Comment

Hi Please, Do not Spam in Comments

Lebih baru Lebih lama