Di Tengah Dugaan Pelanggaran, Galian Tambang C di Kepuh Klagen Gresik Terus Beraktivitas, Dikelola Pihak Ketiga, APH Dinilai Belum Bertindak Tegas

Di Tengah Dugaan Pelanggaran, Galian Tambang C di Kepuh Klagen Gresik Terus Beraktivitas, Dikelola Pihak Ketiga, APH Dinilai Belum Bertindak Tegas
Dok, foto; Di Tengah Dugaan Pelanggaran, Galian Tambang C di Kepuh Klagen Gresik Terus Beraktivitas, Dikelola Pihak Ketiga, APH Dinilai Belum Bertindak Tegas. (Gambar ilustrasi).

MSRI, GRESIK - Aktivitas galian tambang C yang diduga masih terus berlangsung di wilayah Desa Kepuh Klagen, Kecamatan Wringinanom, Kabupaten Gresik, kian menuai sorotan publik. Dugaan pelanggaran ini menguat setelah tim investigasi Media Suara Rakyat Indonesia (MSRI) bersama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) melakukan penelusuran langsung di lapangan.

Hasil investigasi menemukan indikasi kuat bahwa aktivitas galian tersebut diduga dikelola oleh pihak ketiga berinisial MTN dan Cheker inisial UNG, bukan secara langsung oleh pemerintah desa. Temuan lapangan menunjukkan adanya pengerukan tanah secara masif, jejak alat berat, serta lalu lintas kendaraan pengangkut material yang keluar masuk lokasi secara berkelanjutan.

Ironisnya, material hasil galian yang semula disebut-sebut untuk kepentingan warga desa, justru diduga diperjualbelikan ke luar desa, sehingga menimbulkan dugaan pemanfaatan aset desa di luar peruntukannya dan berpotensi merugikan masyarakat.

Saat tim investigasi melakukan konfirmasi kepada Kepala Desa Kepuh Klagen, Edi, yang bersangkutan tidak berada di tempat meskipun masih dalam jam kerja. Selasa (23/12/2025).

Klarifikasi kemudian dilanjutkan dengan menemui Carik Desa Kepuh Klagen, Hatta, serta Bhabinkamtibmas setempat. Namun hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan resmi dan terbuka dari Kepala Desa terkait legalitas kegiatan, peran pihak ketiga, maupun mekanisme pengawasan yang dilakukan pemerintah desa.

Kondisi tersebut memicu keresahan warga. Sejumlah warga yang ditemui MSRI menyatakan tidak pernah mengetahui adanya musyawarah desa atau pemberitahuan resmi terkait aktivitas galian tersebut.

“Kalau memang untuk kepentingan warga, seharusnya ada penjelasan terbuka. Tapi kami tidak pernah diajak bicara, tahu-tahu tanah terus diangkut keluar desa,” ujar seorang warga yang meminta identitasnya dirahasiakan.

Tokoh masyarakat setempat juga menilai sikap tertutup pemerintah desa justru memperbesar kecurigaan publik.

“Ketika kepala desa sulit ditemui dan tidak ada penjelasan, wajar kalau masyarakat menduga ada penyimpangan. Transparansi itu kunci,” tegasnya.

Secara hukum, aktivitas pertambangan diatur secara ketat dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Setiap kegiatan penambangan wajib memiliki izin resmi.

Pasal 158 UU Minerba menegaskan bahwa penambangan tanpa izin diancam pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda hingga Rp100 miliar. Selain itu, Pasal 161 mengatur sanksi pidana bagi pihak yang menampung, mengolah, atau memperdagangkan hasil tambang ilegal.

Dari aspek lingkungan hidup, dugaan aktivitas ini juga berpotensi melanggar UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 36 mewajibkan izin lingkungan (AMDAL atau UKL-UPL), sementara Pasal 98 dan 99 membuka ruang pidana apabila aktivitas tersebut menyebabkan kerusakan atau pencemaran lingkungan.

Dalam konteks penegakan hukum, Aparat Penegak Hukum (APH) memiliki kewenangan dan kewajiban untuk melakukan tindakan pidana awal, mulai dari penyelidikan, penyidikan, penghentian sementara aktivitas, hingga pemasangan garis pengamanan apabila ditemukan indikasi pelanggaran hukum. Namun hingga saat ini, belum terlihat adanya langkah tegas dari APH, meskipun aktivitas galian diduga masih berlangsung secara terbuka.

Selain jalur pidana, aspek administrasi pemerintahan juga tidak dapat diabaikan. UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan secara tegas melarang pejabat publik melakukan pembiaran terhadap pelanggaran hukum di wilayah kewenangannya. Pasal 17 dan 18 mengatur bahwa pejabat negara wajib bertindak apabila mengetahui adanya potensi pelanggaran, dan kelalaian dalam bertindak dapat dikategorikan sebagai maladministrasi.

Hal ini juga berkaitan langsung dengan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang menegaskan bahwa Kepala Desa memiliki tanggung jawab hukum untuk menjaga tata kelola wilayah desa agar tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu. Pembiaran terhadap aktivitas yang patut diduga melanggar hukum dapat membuka ruang sanksi administratif, pemeriksaan oleh Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP), hingga konsekuensi hukum lanjutan apabila menimbulkan kerugian negara atau kerusakan lingkungan.

Pemimpin Redaksi Media Suara Rakyat Indonesia (MSRI), Slamet Pramono, yang akrab disapa Bram, menegaskan bahwa lambannya respons aparat penegak hukum justru berpotensi memperbesar dampak pelanggaran.

“Ketika dugaan pelanggaran sudah disampaikan dan aktivitas masih berjalan, maka APH memiliki tanggung jawab hukum dan moral untuk bertindak. Penegakan hukum tidak boleh menunggu kerusakan semakin parah,” tegas Bram.

Bram menambahkan bahwa MSRI tetap menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah dan membuka ruang klarifikasi dari semua pihak.

“Kami tidak menghakimi, tetapi menyampaikan fakta lapangan dan kerangka hukum. Jika semua telah sesuai aturan, maka pembuktian itulah yang harus disampaikan secara terbuka,” ujarnya.

Hingga berita ini diturunkan, tim investigasi MSRI masih terus menghimpun data dan keterangan tambahan, serta mendorong APH, Dinas ESDM, Dinas Lingkungan Hidup, dan Inspektorat Daerah untuk segera melakukan pemeriksaan lapangan secara objektif dan transparan demi kepastian hukum, perlindungan lingkungan, serta keadilan bagi masyarakat Desa Kepuh Klagen.

{Tim/Red}

Baca Juga

dibaca

Post a Comment

Hi Please, Do not Spam in Comments

Lebih baru Lebih lama