![]() |
| Gambar ilustrasi |
MSRI, GRESIK - Aktivitas galian tambang C yang diduga masih terus beroperasi di wilayah Desa Kepuh Klagen, Kecamatan Wringinanom, Kabupaten Gresik, kembali menuai sorotan publik. Dugaan ini menguat setelah tim investigasi gabungan LSM dan wartawan Media Suara Rakyat Indonesia (MSRI) melakukan penelusuran langsung di lapangan.
Hasil pemantauan menunjukkan adanya indikasi kuat aktivitas penambangan, seperti bekas pengerukan tanah, jejak alat berat, serta lalu lintas kendaraan pengangkut material. Kondisi tersebut menimbulkan pertanyaan serius terkait legalitas perizinan, pengawasan pemerintah desa, serta potensi kerusakan lingkungan yang dapat berdampak langsung pada masyarakat.
Upaya konfirmasi telah dilakukan kepada Kepala Desa dan Carik Desa Kepuh Klagen, namun hingga berita ini diterbitkan, pihak pemerintah desa memilih tidak memberikan keterangan resmi. Sikap bungkam tersebut dinilai bertentangan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.
Secara hukum, kegiatan pertambangan diatur dalam UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Setiap aktivitas penambangan wajib memiliki izin resmi. Pasal 158 UU Minerba mengatur bahwa penambangan tanpa izin dapat dikenai pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda hingga Rp100 miliar, sementara Pasal 151 dan 161 membuka ruang sanksi administratif dan pidana lanjutan bagi pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung.
Selain aspek pertambangan, dugaan aktivitas galian ini juga bersinggungan dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 36 mewajibkan setiap usaha yang berdampak penting terhadap lingkungan untuk memiliki izin lingkungan (AMDAL atau UKL-UPL). Pelanggaran atas ketentuan ini dapat dikenai sanksi administratif (Pasal 76) hingga sanksi pidana (Pasal 98 dan 99) apabila terjadi pencemaran atau kerusakan lingkungan.
Lebih jauh, dalam konteks pemerintahan desa, posisi dan tanggung jawab Kepala Desa diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Pasal 26 ayat (4) menyebutkan bahwa Kepala Desa wajib:
• menaati dan menegakkan peraturan perundang-undangan,
• melaksanakan prinsip pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel,
• serta melindungi kepentingan masyarakat desa.
Apabila Kepala Desa mengetahui atau patut mengetahui adanya aktivitas yang diduga melanggar hukum di wilayahnya namun tidak melakukan upaya pencegahan, pembinaan, atau pelaporan, maka hal tersebut berpotensi dikualifikasikan sebagai kelalaian dalam menjalankan kewenangan pemerintahan.
Hal ini diperkuat dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, khususnya Pasal 17 dan Pasal 18, yang melarang pejabat pemerintahan melakukan penyalahgunaan wewenang, termasuk:
• melampaui wewenang,
• mencampuradukkan wewenang,
• atau tidak bertindak ketika diwajibkan oleh hukum.
Dalam kondisi tertentu, sikap pembiaran (omission) oleh pejabat publik dapat dinilai sebagai bentuk maladministrasi, yang membuka ruang sanksi administratif, pemeriksaan oleh aparat pengawas internal pemerintah (APIP), hingga potensi konsekuensi hukum lanjutan apabila menimbulkan kerugian negara atau kerusakan lingkungan.
Pemimpin Redaksi Media Suara Rakyat Indonesia (MSRI), Slamet Pramono, yang akrab disapa Bram, menegaskan bahwa kepala desa tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab pengawasan wilayah.
“Kepala desa bukan hanya simbol administratif. Ia memiliki kewajiban hukum untuk memastikan wilayahnya tidak dijadikan lokasi aktivitas ilegal yang merugikan masyarakat dan lingkungan. Diam atau membiarkan justru berpotensi menjadi persoalan hukum tersendiri,” tegas Bram.
Bram menambahkan bahwa MSRI tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah dan membuka ruang klarifikasi.
“Kami tidak menuduh, tetapi mengingatkan bahwa hukum memberikan rambu yang jelas. Jika semua prosedur telah dipenuhi, maka seharusnya tidak ada alasan untuk menutup diri dari konfirmasi publik,” ujarnya.
Hingga berita ini diturunkan, tim investigasi MSRI masih terus mengumpulkan data dan mendorong Aparat Penegak Hukum (APH), Dinas ESDM, serta Dinas Lingkungan Hidup untuk melakukan pemeriksaan lapangan secara objektif dan transparan, demi kepastian hukum, perlindungan lingkungan, dan hak masyarakat Desa Kepuh Klagen.
{Tim/Red}
dibaca

Posting Komentar
Hi Please, Do not Spam in Comments