![]() |
| Dok, foto; Wisma Jerman Surabaya Dukung Pelestarian Seni Tenun Tuban Lewat Pameran ‘Entah Dalam Koma’. |
MSRI, SURABAYA - Wisma Jerman Surabaya kembali menunjukkan komitmennya dalam mendukung seniman lokal melalui pameran tunggal bertajuk ‘Entah Dalam Koma’ karya Uzzaer Ruwaidah, seniman perempuan asal Tuban Jawa Timur.
Dukungan Wisma Jerman Surabaya terhadap seniman yang pameran ialah fasilitasi tempat untuk melangsungkan memamerkan karya seninya. Pameran tersebut berlangsung di Wisma Jerman Surabaya mulai besok 31 Oktober hingga 2 November 2025, dan terbuka gratis untuk umum di Wisma Jerman, Jl. Taman AIS Nasution 15, Surabaya.
Saat ditemui dalam konferensi pers pameran, pada Kamis (30/10/2025) Direktur Pelaksana Wisma Jerman Surabaya, Mike Neuber, menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan bentuk apresiasi dan dukungan lembaganya terhadap upaya pelestarian tradisi tenun khas Indonesia, khususnya tenun gedhog Tuban yang kini mulai langka.
“Wisma Jerman selalu berusaha mendukung seniman lokal dan memberikan ruang ekspresi bagi mereka, apalagi yang membawa pesan penting seperti pelestarian tenun ini. Karena tenun adalah tradisi yang mungkin bisa dibilang diancam punah,” ujar Mike.
Menurutnya, kegiatan semacam ini menjadi sarana efektif untuk membangkitkan kesadaran publik terhadap pentingnya menjaga warisan budaya.
“Di Jerman sendiri budaya menenun tradisional sudah nyaris tak ada, hanya bisa dilihat di museum. Karena itu, kami sangat menghargai upaya seperti yang dilakukan Uzzaer ini,” tambahnya.
Jadi Upaya Pelestarian Budaya Lokal
Karena tenun adalah sebuah tradisi yang mungkin bisa dibilang terancam punah, bagi Mike, hal ini bisa menjadi suatu cara untuk membuat orang sadar melestarikan tradisi lokal.
“Bukan hanya ini, tetapi dalam acara ini ya khusus melestarikan cara pembuatan tenun yang cukup unik dan lama. Dan saya diberitahu bahwa memang hanya ada beberapa orang yang bisa melakukan itu (tenun) dan mereka semua sudah tua, sayang sekali,” kata Mike.
Meski belum bisa dibilang warisan budaya secara formal yang diakui UNESCO atau semacamnya, Mike menilai, pameran ini memanglah sebuah warisan budaya yang terancam punah, sehingga sangat perlu dipertahankan dan dilestarikan.
“Anggapan pribadi saya atas karya seni di pameran ini, bahwa saya suka karya yang penuh warna. Jadi, ini ada campuran ya ada yang sangat berwarna-warni seperti itu,” ucap Mike.
“Tapi ada juga yang lebih tenang mungkin ya karena warnanya tidak mencolok. Tapi tetap bisa diapresiasi menurut saya karena di sini juga terlihat uniknya karena ini juga pakai dua jenis kapas yang putih dan yang coklat. Sepertinya saya memang cenderung suka yang lebih berwarna ya tetapi ini juga menarik,” sambungnya.
Mike pun mengapresiasi usaha dari penyelenggara pameran termasuk seniman yang memajang karyanya, untuk membangkitkan kesadaran terhadap tenun ini dan proses yang di belakang tenun ini dari dasar pembuatannya.
“Di Jerman sendiri setahu saya tidak ada budaya seperti ini, tenun pasti tidak ada. Yah walaupun memang cara membuat kain yang tradisional pasti juga ada di Eropa. namun mungkin hanya bisa dilihat di museum atau mungkin ada 1-2 artis yang masih juga melakukannya, namun tentu itu sebagai karya seni atau kesenian bukan seperti di Tuban, Indonesia yang merupakan pekerjaan,” tuturnya.
Diungkapkan Mike, sebetulnya pameran seni seperti ini bukan yang pertama kalinya diadakan Wisma Jerman Surabaya karena dulu juga ada pameran batik dari pesisir Probolinggo. Dengan pameran kali ini, sekali lagi Wisma Jerman Surabaya membuktikan komitmennya dalam mendukung pelestarian karya seni lokal.
Menghormati Proses, Bukan Sekadar Hasil
Pameran ‘Entah Dalam Koma’ menampilkan karya-karya Uzzaer yang memadukan benang, akar beringin, kapas, dan kain tenun gedhog Tuban dalam visual yang sarat makna. Melalui karya ini, Uzzaer mengajak pengunjung merenungkan bahwa hidup adalah perjalanan berulang yang terus berubah, namun selalu terhubung antara Tuhan, manusia, dan alam.
“Pameran ini bukan perayaan hasil, melainkan penghormatan terhadap proses. Hidup, seperti benang dan akar, tidak pernah selesai disusun, sehingga ia hanya berganti koma,” ungkap Uzzaer dalam sesi wawancaranya.
Uzzaer menegaskan bahwa setiap proses kreatifnya selalu berpijak pada prinsip keberlanjutan dan cinta terhadap alam. Ia mengolah bahan-bahan alami dan kimia secara ramah lingkungan agar tidak merusak ekosistem.
“Seperti daur ulang, perulangan itu akan terus terjadi. Alam pun tidak rugi akan itu,” tegasnya.
Tema “Entah Dalam Koma” pada pameran ini, dipaparkan Uzzaer berangkat dari refleksi pribadinya tentang perubahan dan proses menjadi.
“Selama ini saya hidup dengan berbagai benturan. Tapi dari situ saya menjelma jadi ‘saya’ yang baru. Jadi berproses itu adalah pernyataan akan hidup,” pungkasnya.
Pameran ini merupakan pameran tunggal kelima bagi Uzzaer, yang juga dikenal melalui UMKM kain wastra dengan merek Uzzair. Karya-karyanya pernah masuk nominasi 100 besar J+Art Award dan lima besar Dekranas Award kategori kain.
{Spr99}
Sumber Dinas KOMINFO JATIM
dibaca

Posting Komentar
Hi Please, Do not Spam in Comments