MediaSuaraRakyatIndonesia.id

Kenali Perbedaan Antara Kasyaf ILLAHI dan Kasyaf SYAITON

Kenali Perbedaan Antara Kasyaf ILLAHI dan Kasyaf SYAITON

MSRI, TULUNGAGUNG - Dalam literatur tasawuf, istilah al-kasyf (الكشف) berarti “terbukanya hijab batin”, 

yaitu kemampuan hati untuk menyaksikan hakikat sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh pancaindra.

Namun para sufi menegaskan bahwa tidak setiap kasyaf itu benar dan suci. Ada kasyaf yang bersumber dari Allah (ilahi/rahmani) dan ada pula yang berasal dari tipu daya setan (syaitani).

Karena itu, para guru ruhani selalu menekankan pentingnya tazkiyatun-nafs (penyucian jiwa) dan bimbingan syariat, agar seorang salik tidak tertipu oleh penampakan yang semu dan tidak menganggap setiap keanehan sebagai tanda kewalian.

• Pengertian Kasyaf dalam Kitab Tasawuf

Imam Abu al-Qasim al-Qusyairi menjelaskan dalam ar-Risalah al-Qusyairiyyah:

وَالكَشْفُ هُوَ مَا يَظْهَرُ عَلَى قُلُوبِ الأَوْلِيَاءِ مِنْ أَنْوَارِ الغُيُوبِ وَفُتُوحِ السُّدُودِ، وَهُوَ مِنْ ثِمَارِ المُجَاهَدَةِ وَصِدْقِ التَّوَجُّهِ.

“Kasyaf adalah tampaknya pada hati para wali cahaya-cahaya dari perkara gaib dan terbukanya penghalang-penghalang batin. 

Ia merupakan buah dari kesungguhan dalam mujahadah dan keikhlasan dalam menghadapkan diri kepada Allah.”

(ar-Risalah al-Qusyairiyyah, bab al-Mukasyafah)

Dengan demikian, kasyaf bukanlah tujuan, melainkan buah dari perjalanan panjang penyucian jiwa dan penghambaan kepada Allah. Ia tidak dapat dicapai hanya dengan pengetahuan rasional, tetapi dengan kebeningan hati dan keteguhan dalam mengikuti syariat.

• Kasyaf Ilahi (Rahmani)

Kasyaf ilahi adalah penyingkapan hijab batin sebagai karunia Allah kepada hamba-Nya yang ikhlas dan jujur dalam suluk, hingga ia menyaksikan hakikat ciptaan dan keagungan Sang Pencipta.

Imam Abu Hamid al-Ghazali berkata:

الكَشْفُ نُورٌ يُقْذَفُ فِي القَلْبِ، يَنْكَشِفُ بِهِ حَقِيقَةُ الأُمُورِ.

“Kasyaf adalah cahaya yang dilemparkan ke dalam hati, dengan cahaya itu tersingkaplah hakikat segala sesuatu.”

(Ihya’ Ulum ad-Din, Juz 3, Kitab al-‘Ilm)

Para sufi menegaskan bahwa kasyaf sejati lahir dari amal dan mujahadah, namun hasil akhirnya tetap merupakan anugerah (mawhibah) dari Allah, bukan semata hasil usaha manusia (kasb).

Sebagaimana Syaikh Abd al-Karim al-Jili menegaskan dalam al-Insan al-Kamil:

وَلَا يُكْشَفُ السِّتْرُ إِلَّا بِنُورِ الْفَضْلِ، لَا بِنُورِ الْعَمَلِ.

“Hijab tidak akan tersingkap kecuali dengan cahaya karunia, bukan semata cahaya amal.”

Artinya, dzikir, riyadah, dan latihan ruhani adalah sarana penyucian hati, namun penyingkapan hanya terjadi bila Allah berkehendak.

• Ciri-ciri kasyaf ilahi:

Menumbuhkan rasa takut dan malu kepada Allah.

Membuat hati semakin tunduk kepada syariat.

Menghasilkan ketenangan, kasih sayang, dan kerendahan hati.

Ibn Atha’illah as-Sakandari dalam al-Hikam menulis:

إِذَا فُتِحَ لَكَ وَجْهٌ مِنَ التَّعَرُّفِ فَلَا تُبَالِ مَعَهُ إِنْ قَلَّ عَمَلُكَ، فَإِنَّهُ مَا فَتَحَهُ لَكَ إِلَّا وَهُوَ يُرِيدُ أَنْ يَتَعَرَّفَ إِلَيْكَ.

“Jika Allah membukakan bagimu pintu pengenalan (ma‘rifah), maka jangan khawatir bila amalmu sedikit. Sesungguhnya Dia tidak membukakan pintu itu kecuali karena Dia ingin memperkenalkan Diri-Nya kepadamu.”

“Sebaliknya, tidak semua penyingkapan berasal dari cahaya Ilahi. Ada pula yang muncul dari kegelapan hawa nafsu dan tipu daya setan, sebagaimana diperingatkan oleh para ulama.”

• Kasyaf Syaitoni (atau Khayali)

Selain kasyaf yang datang dari Allah, para ulama juga memperingatkan adanya kasyaf palsu yang berasal dari bisikan jin, hawa nafsu, atau setan.

Syaikh Abu Nashr as-Sarraj menulis dalam al-Luma‘:

وَرُبَّ كَشْفٍ يَكُونُ اسْتِدْرَاجًا وَتَمْوِيهًا مِنَ الشَّيْطَانِ، فَيَغْتَرُّ بِهِ صَاحِبُهُ.

“Terkadang kasyaf hanyalah istidraj (tipuan bertahap) dan penyesatan dari setan, hingga pelakunya tertipu olehnya.”

(al-Luma‘, hlm. 415)

Imam Ibn Qayyim al-Jawziyyah juga memperingatkan:

لَوْ كُشِفَ الغِطَاءُ لَوُجِدَ أَكْثَرُ النُّفُوسِ البَشَرِيَّةِ صَرْعَى مَعَ هَذِهِ الأَرْوَاحِ الخَبِيثَةِ، وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ.

“Seandainya tabir dibuka, niscaya akan tampak bahwa kebanyakan jiwa manusia tunduk dan terperdaya oleh makhluk-makhluk halus yang jahat, sedang mereka tidak menyadarinya.”

(Zad al-Ma‘ad, Juz 4, hlm. 64)

“Untuk membedakan antara keduanya, para ulama memberikan tanda-tanda berikut:”

• Kasyaf Illahi.

Sumber: Anugerah dari Allah, lahir melalui penyucian jiwa (tazkiyah) dan kesungguhan spiritual (mujahadah).

Buah spiritual: Menumbuhkan rasa takut kepada Allah, rendah hati, dan tunduk kepada kebenaran.

Isi pengalaman: Ilham atau penyingkapan makna batin yang meneguhkan iman dan memperindah amal.

Kesesuaian syariat: Sepenuhnya selaras dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah ﷺ.

Sikap penerima: Menyembunyikan nikmat, tidak mengaku-aku, dan menjaga keikhlasan.

Hasil akhir: Ma‘rifah (pengenalan sejati kepada Allah), ketenangan batin, dan limpahan rahmat.

• Kasyaf Syaitoni

Sumber: Bisikan setan dan dorongan hawa nafsu.

Buah spiritual: Menimbulkan rasa bangga, kagum pada diri sendiri, dan merasa istimewa.

Isi pengalaman: Penglihatan atau pengetahuan tentang hal-hal ghaib yang menumbuhkan rasa takjub dan ujub.

Kesesuaian Syariat: Bertentangan dengan ajaran agama dan dapat menyesatkan akidah.

Sikap penerima: Ingin dipuji, mencari pengakuan, dan membanggakan keistimewaan diri.

Hasil akhir: Fitnah, kesesatan, dan kesombongan spiritual.

“Salah satu bentuk paling berbahaya dari kasyaf syaitoni ialah istidraj,  yakni pemberian kemampuan luar biasa kepada seorang hamba yang sebenarnya sedang dijauhkan dari Allah.”

• Istidraj

Makna: Pemberian kemampuan, kenikmatan, atau “keajaiban” kepada seseorang, padahal ia berada dalam kemaksiatan, sehingga ia semakin jauh dari Allah tanpa disadari.

Ciri-ciri: Tampak seperti karamah, tetapi membuat hati lalai, merasa hebat, dan meninggalkan ketaatan.

Tujuan Ilahi: Ujian dan bentuk hukuman tersembunyi bagi orang yang tertipu oleh dirinya sendiri. Allah memberi mereka kelapangan dan kemampuan yang tampak luar biasa, padahal hal itu adalah jalan lembut menuju kebinasaan. 

Bukan karena Allah menzalimi, tetapi karena manusia menolak peringatan dan terbuai oleh karunia yang seharusnya menjadi ujian.

Sebagaimana firman Allah Ta‘ala:

 فَإِنَّا نَسْتَدْرِجُهُم مِّنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُونَ

“Maka sesungguhnya Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui.”

(QS. Al-A‘raf: 182)

Imam Jalaluddin Asy-Suyuthi dalam Tafsir al-Jalalayn menjelaskan makna zahir ayat ini:

أي نُمْهِلُهُم وَنُقَرِّبُهُمْ إِلَى الْهَلَاكِ دَرَجَةً بَعْدَ دَرَجَةٍ مِنْ حَيْثُ لَا يَشْعُرُونَ.

“Yakni Kami beri mereka kelonggaran dan Kami dekati mereka menuju kebinasaan sedikit demi sedikit, dari arah yang tidak mereka rasakan.”

(Tafsir al-Jalalayn, Surah al-A‘raf: 182)

• Nasihat Para Ulama

Imam al-Junayd al-Baghdadi berkata:

الطُّرُقُ كُلُّهَا مُسْدُودَةٌ عَلَى الخَلْقِ إِلَّا مَنْ اقْتَفَى أَثَرَ الرَّسُولِ ﷺ.

“Segala jalan menuju Allah tertutup bagi manusia, kecuali bagi mereka yang mengikuti jejak Rasulullah ﷺ.”

(ar-Risalah al-Qusyairiyyah)

Karena itu, siapa pun yang memperoleh kasyaf tetapi tidak tunduk pada syariat, maka kasyafnya tidak sahih, bahkan bisa jadi berasal dari setan yang memperdaya.

Ibn Atha’illah juga berpesan:

فَلَا تُغْتَرَّ بِمَا يُظْهِرُ عَلَيْكَ مِنَ الأَنْوَارِ، فَرُبَّ نُورٍ أُضِيءَ عَلَيْكَ فِي البِدَايَةِ وَكَانَ فِيهِ مَكْرٌ.

“Janganlah tertipu oleh cahaya-cahaya yang tampak padamu, sebab bisa jadi cahaya di permulaan itu justru mengandung tipu daya.”

(al-Hikam al-‘Atha’illah)

• Penutup

Para ulama menegaskan bahwa kasyaf bukan ukuran kewalian.

Kewalian diukur dengan ketakwaan dan ketaatan kepada syariat.

Kasyaf sejati menumbuhkan khauf, khusyuk, dan tawadhu’, sedangkan kasyaf palsu menumbuhkan rasa bangga dan ujub.

Wallahu a'lam bishawab.

• Sumber:

Kisah kramat  Wali Wali Allah 


---Semoga Bermanfaat 

🙏🙏🙏

______________________

Reporter: Huntoro

Baca Juga

dibaca

Post a Comment

Hi Please, Do not Spam in Comments

Lebih baru Lebih lama
MediaSuaraRakyatIndonesia.id