![]() |
| Dok, foto; Candi Penampilan: Jejak Sejarah yang Perlu Dilestarikan di Wilayah Tulungagung. |
MSRI, TULUNGAGUNG - Di lereng perbukitan Desa Geger, Kecamatan Sendang, Kabupaten Tulungagung, berdiri sebuah peninggalan kuno yang nyaris terlupakan: Candi Penampihan, atau yang lebih dikenal masyarakat sekitar sebagai Candi Asmarabangun. Di balik kesunyian dan lumut yang menempel di batu-batu purbanya, candi ini menyimpan kisah panjang tentang kejayaan empat kerajaan besar yang pernah menguasai Jawa.
Para arkeolog memperkirakan bahwa Candi Asmarabangun merupakan hasil pahatan antar lintas masa, jejak dari Mataram Kuno, Kediri, Singosari, hingga Majapahit. Setiap batu yang tersusun di sana bukan sekadar tumpukan sejarah, melainkan simbol perjalanan panjang peradaban Nusantara yang membentuk identitas bangsa.
Namun, waktu berjalan seolah terlalu cepat bagi peninggalan tua ini. Di tengah hiruk pikuk pembangunan dan modernisasi, Candi Asmarabangun ini sepi pengunjung. Rerumputan liar yang tumbuh di sela-sela batu, sementara jalan menuju lokasi masih belum sepenuhnya layak dilalui kendaraan.
Di sinilah Hendriman (50), sang juru kunci, masih setia menjaga. Dengan wajah teduh dan langkah tenang, ia menjaga warisan leluhur itu seolah menjaga bagian dari dirinya sendiri. Setiap pagi, Hendriman membersihkan area sekitar candi, memastikan tempat itu tetap layak dikunjungi meski jarang ada wisatawan yang datang.
"Candi ini banyak dikunjungi untuk meditasi atau wisata religi," tuturnya kepada wartawan Suara Rakyat Indonesia (MSRI) saat ditemui di pos jaga sederhana yang berdiri di dekat kompleks candi. "Tapi sayang, perhatian dari pemerintah masih sangat minim. Padahal ini warisan sejarah yang penting bagi Tulungagung."
Menurutnya, perhatian pemerintah bukan hanya soal dana, tetapi juga komitmen untuk memperkenalkan situs bersejarah ini pada generasi muda. Ia berharap ada upaya nyata, seperti promosi wisata edukatif atau kegiatan budaya yang bisa menarik minat masyarakat datang dan belajar tentang sejarahnya.
"Perkenalkan pada anak-anak muda, supaya mereka tahu bahwa Tulungagung punya warisan luar biasa," ujarnya penuh harap. "Candi ini bukan sekadar batu, tapi jejak peradaban. Kalau dibiarkan hilang, sama saja kita kehilangan sebagian jati diri bangsa."
Hendriman juga mengeluhkan akses menuju candi yang masih sempit dan kurang layak. Jalan setapak sekitar 50 meter menuju lokasi masih perlu perbaikan. Selain itu, ia berharap ada fasilitas tambahan seperti joglo atau gazebo untuk tempat berteduh pengunjung saat hujan.
"Pos jaga ini kecil, kalau hujan kami sering bingung mau berteduh di mana," katanya lirih.
Meski dengan segala keterbatasan, Hendriman tetap menjalankan tugasnya dengan penuh cinta. Ia meyakini bahwa menjaga candi bukan hanya merawat batu, tapi juga merawat ingatan kolektif masyarakat atas masa lalu mereka.
"Ini sejarah yang tidak boleh hilang," ucapnya tegas. Kini, harapan itu ia titipkan kepada pemerintah daerah Tulungagung. Agar ada tangan-tangan yang lebih peduli, bukan hanya sekadar datang saat upacara atau penelitian, melainkan hadir untuk melestarikan warisan leluhur yang sesungguhnya. Sebab bagi Hendriman, melestarikan sejarah bukan nostalgia, melainkan bentuk cinta kepada bangsa.
Reporter: Huntoro
Divisi Investigasi
dibaca

Posting Komentar
Hi Please, Do not Spam in Comments