![]() |
| Dok, foto; Sidang kasus dugaan penggelapan dana dengan terdakwa Monica Ratna Pujiastuti di Pengadilan Negeri Surabaya. Selasa (16/9/2025). |
MSRI, SURABAYA - Terkait Kasus dugaan penggelapan dana perusahaan dengan terdakwa Monica Ratna Pujiastuti kembali memasuki babak krusial di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Perkara ini teregister dengan nomor 1456/Pid.B/2025/PN Sby dan kini telah sampai pada tahap pembacaan duplik oleh tim penasihat hukum terdakwa, Selasa (16/9/2025).
Sidang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim SIH Yuliarti, S.H., dengan hakim anggota Sutrisno, S.H., M.H. serta Silvi Yanti Zulfia, S.H., M.H.. Jaksa Penuntut Umum (JPU) adalah Estik Dilla Rahmawati, S.H., M.H., sedangkan tim kuasa hukum terdakwa berasal dari Maharaja Law Firm yang dikomandoi oleh Samsul Arifin, S.H., M.H. (Banyuwangi) bersama Samian, S.H., Ely Elfrida Rahmatullaili, S.H., dan Alfan Syah, S.H.
Dalam persidangan, penasihat hukum terdakwa menegaskan bahwa dakwaan dan replik JPU dianggap tidak konsisten serta lemah secara argumentasi hukum. Perubahan pasal dakwaan dari Pasal 374 jo Pasal 64 KUHP menjadi Pasal 378 KUHP disebut tidak sesuai fakta persidangan.
“Majelis Hakim yang mulia, kami tegaskan bahwa seluruh replik JPU patut ditolak. Fakta hukum menunjukkan terdakwa memang pernah menggunakan dana perusahaan untuk keperluan pribadi, namun seluruh permasalahan tersebut telah diselesaikan melalui perjanjian bersama dan kesepakatan kekeluargaan,” ujar Samian, S.H., penasihat hukum terdakwa.
Poin penting yang disampaikan tim penasihat hukum antara lain:
• Pengakuan Terdakwa: Monica Ratna Pujiastuti mengakui menggunakan dana perusahaan sejak 2019, terutama untuk biaya pengobatan.
• Kerugian Bank Panin: Tuduhan kerugian sejak 2017 dianggap tidak relevan, sebab rekening perusahaan baru dibuka pada 2020.
• Perjanjian Bersama: Pada 24 September 2024, perusahaan dan terdakwa menandatangani kesepakatan yang menyatakan seluruh masalah kerja, pidana, maupun perdata telah diselesaikan.
• Penyelesaian Kekeluargaan: Terdakwa menyerahkan aset pribadi berupa rumah, mobil, perhiasan, dan tabungan senilai Rp1,8 miliar sebagai bentuk tanggung jawab.
Atas dasar tersebut, kuasa hukum meminta majelis hakim menjatuhkan putusan Onslag van Recht Vervolging dengan merujuk pada Pasal 191 ayat (2) KUHAP, yakni membebaskan terdakwa dari tuntutan hukum jika perbuatannya terbukti namun tidak termasuk tindak pidana.
Sementara itu, JPU tetap kukuh pada dakwaan awal. Dalam repliknya, Estik Dilla Rahmawati, S.H., M.H. menegaskan bahwa pengakuan terdakwa menggunakan dana perusahaan merupakan bukti nyata adanya tindak pidana penggelapan.
“Perdamaian atau perjanjian bersama tidak menghapus sifat pidana dari perbuatan terdakwa,” tegasnya.
Menurut JPU, tindak pidana penggelapan merupakan delik formil yang tetap dapat diproses meskipun telah ada penyelesaian kekeluargaan. Karena itu, JPU meminta majelis hakim menolak seluruh duplik penasihat hukum dan tetap menjatuhkan hukuman sesuai tuntutan.
Sidang duplik ini menjadi kesempatan terakhir bagi terdakwa dan kuasa hukumnya untuk memberikan pembelaan. Putusan akhir atas perkara Monica Ratna Pujiastuti akan dibacakan pada persidangan berikutnya di PN Surabaya. Publik kini menanti, apakah majelis hakim akan mengabulkan permintaan Onslag atau tetap menjatuhkan vonis pidana.
{Spr99}
dibaca

Posting Komentar
Hi Please, Do not Spam in Comments