MediaSuaraRakyatIndonesia.id

Ketika Pemberitaan Pers Dianggap Lebih Berbahaya dari Cuaca Ekstrem

Ketika Pemberitaan Pers Dianggap Lebih Berbahaya dari Cuaca Ekstrem
Dok, foto; Ketika Pemberitaan Pers Dianggap Lebih Berbahaya dari Cuaca Ekstrem.

MSRI, SURABAYA - Sebuah pesan WhatsApp meluncur ke grup para jurnalis PJI. Bukan hoaks, bukan undangan arisan, tapi pernyataan tegas dari Ketua Umum PJI, Hartanto Boechori. Isinya? Sebuah pengingat keras bahwa jurnalis bukan kambing hitam yang bisa dipidanakan hanya karena menulis berita. Sabtu (9/8/2025) pagi.

“Tidak bisa mempidanakan jurnalis atas dasar pemberitaan Pers,” tulis Hartanto, mungkin sambil menyeruput kopi dan mengelus kepala yang sudah terlalu sering berpikir waras di tengah kekacauan logika.

Tapi rupanya, di negeri yang kadang lebih cepat tersinggung daripada membaca sampai paragraf terakhir, ada saja yang merasa pemberitaan Pers itu seperti serangan pribadi. Solusinya? Bukan debat terbuka, bukan klarifikasi, tapi langsung lapor polisi. Karena tentu saja, redaksi media dianggap lebih berbahaya daripada geng motor.

Hartanto pun mengingatkan, dengan nada yang mungkin sudah lelah tapi tetap elegan:

• Kalau tersentuh berita, minta hak jawab ke redaksi.

• Kalau masih gerah, lapor ke organisasi Pers.

• Kalau ingin lebih formal, sampaikan ke Dewan Pers.

Karena, ya, begitulah mekanisme Pers bekerja. Bukan dengan ancaman pidana, tapi dengan dialog dan etika jurnalistik. Tapi entah kenapa, sebagian aparat masih menganggap berita itu seperti barang bukti kejahatan.

“Polisi wajib paham MOU Kapolri dengan Ketua Dewan Pers dan Perjanjian Polri dengan Dewan Pers. Tolak laporan/pengaduan terkait pemberitaan Pers. Dan dalam situasi kondisi demikian, Penyidik wajib mengarahkan ke arah penyelesaian menggunakan mekanisme Pers,” lanjut Hartanto, mungkin sambil berharap ada yang mencetak MoU itu dan menempelkannya di ruang penyidik.

Dan kalau sudah terlanjur menerima laporan? Jangan panik. Jangan pura-pura lupa. Jangan main drama.

“Dan bila telah terlanjur menerima, segera terbitkan SP2HP penghentian penyelidikan,” katanya, seperti guru yang sabar mengulang pelajaran ke murid yang lebih sibuk main gawai.

Terakhir, pesan yang paling menyentuh—bukan karena puitis, tapi karena getir:

“Polisi/Penyidik/Penyelidik, saya harap tidak mempermainkan Hukum dengan cara, ‘coca-coba’.”

Karena hukum bukan eksperimen. Dan jurnalis bukan kelinci percobaan. Mereka hanya menulis. Kadang dengan pena, kadang dengan nyawa.

{Redaksi}

Baca Juga

dibaca

Post a Comment

Hi Please, Do not Spam in Comments

Lebih baru Lebih lama
MediaSuaraRakyatIndonesia.id