MSRI, SURABAYA - Aksi pemerasan berkedok aktivisme kembali mencoreng wajah gerakan sipil di Jawa Timur. Dua oknum yang mengaku dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dibekuk tim Subdit II Jatanras Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Jatim dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada Sabtu malam, 19 Juli 2025.
Kedua pelaku berinisial S dan SH ditengarai menjalankan skenario pemerasan terhadap sejumlah organisasi perangkat daerah (OPD) di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Modusnya: mengirim surat pemberitahuan demonstrasi bertema dugaan korupsi, kemudian mengancam akan menggulirkan aksi massa jika tidak diberi “uang damai”.
Praktik ini, menurut sumber internal, bukan yang pertama kali dilakukan. Beberapa OPD dikabarkan telah menjadi korban dalam pola yang sama saksi digelar fiktif, lalu dibatalkan setelah uang mengalir secara diam-diam.
Ketua Forum Pemerhati Pendidikan Jawa Timur (FPPJ), Kiki Kurniawan, menyampaikan keprihatinan mendalam atas kasus tersebut. Ia mengecam keras praktik pemerasan yang menggunakan isu pendidikan sebagai tameng.
“Dalam beberapa bulan terakhir, saya perhatikan semakin banyak aksi demonstrasi yang dilakukan oleh segelintir orang mengatasnamakan LSM. Materi demo mereka cenderung tidak mendidik dan bahkan terkesan dipaksakan. Dunia pendidikan membutuhkan kontrol sosial yang konstruktif, bukan justru jadi sasaran pemerasan berkedok aktivisme,” ujar Kiki saat diwawancarai, Senin (21/7/2025).
Yang lebih memprihatinkan, lanjutnya, pelaku disebut-sebut masih berstatus mahasiswa aktif di salah satu perguruan tinggi Islam di Surabaya.
“Mahasiswa seharusnya menjadi panutan, membawa semangat intelektual dan perubahan positif. Bukan justru menggunakan status mereka untuk menekan dan menakut-nakuti instansi pemerintah demi kepentingan pribadi,” tegas Kiki.
Dalam pernyataannya, Kiki Kurniawan mendesak aparat penegak hukum agar lebih selektif dalam mengeluarkan izin aksi dan menelusuri substansi dari setiap rencana demonstrasi yang diajukan.
“Jika suatu aksi tidak memiliki dasar yang kuat, tidak membawa data dan bukti yang akurat, sebaiknya jangan diberi izin. Bahkan, kalau perlu dibubarkan saja aksi-aksi yang hanya mengedepankan sensasi dan tekanan politik,” pungkasnya.
Polda Jatim sendiri saat ini masih terus mendalami kasus tersebut dan tidak menutup kemungkinan adanya keterlibatan pihak lain yang ikut bermain dalam jaringan pemerasan ini.
Kasus ini menjadi alarm serius bagi semua pihak, terutama kalangan mahasiswa dan aktivis. Aktivisme sejatinya adalah wadah perjuangan ide dan nurani publik bukan topeng untuk memeras anggaran negara dan memperkaya diri. Kepolisian diharapkan bertindak cepat, tegas, dan tanpa pandang bulu untuk menjaga marwah dunia pendidikan dari praktik-praktik rendahan semacam ini.
{Redaksi}
dibaca
Posting Komentar
Hi Please, Do not Spam in Comments