MSRI, SURABAYA - Fenomena Krisis Moneter yang melanda Asia Tenggara pada pertengahan 1997 menjadi titik awal guncangan di Republik Indonesia. Nilai tukar rupiah anjlok atau melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, harga-harga kebutuhan pokok melonjak dan melambung tinggi, meningkatnya inflasi, hutang luar negeri mencapai Rp.163 miliar USD, pengangguran dan angka kemiskinan mengalami peningkatan signifikan dan diperparah dengan Korupsi Kolusi Nepotisme atau KKN dikalangan para pejabat pemerintahan dan penyelenggara negara yang berakibat perekonomian nasional lumpuh.
Krisis multidimensi yang meliputi krisis ekonomi, politik, hukum, dan sosial menjadi pemicu utama ketidakstabilan di berbagai sektor. Di tengah gejolak krisis, gelombang aksi demonstrasi dan kerusuhan massal, anti-pemerintah, dan pembangkangan terus merebak hampir ke seluruh daerah yang mengakibatkan banyak korban jiwa dan kerusakan harta benda selain itu membuat hubungan etnis dan agama menjadi tegang.
Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi dan sejumlah elemen masyarakat menuntut turunnya Soeharto dari jabatan Presiden, perubahan sistem pada pemerintahan dan penghapusan praktik KKN yang mengakar dalam kekuasaan. Aksi demonstrasi pada 12 Mei 1998, aparat melakukan tindakan represif, 4 mahasiswa Universitas Trisakti tewas kemudian dikenang dengan nama Tragedi Trisakti.
Kerusuhan massal yang menyasar pada etnis tionghoa dituduh sebagai dalang di balik krisis moneter. Berbagai peristiwa terjadi menjelang 21 Mei 1998, tidak sedikit demonstran diculik dan hilang hingga sekarang. Krisis moneter mengakibatkan pembakaran, penjarahan, dan kekerasan di sejumlah daerah.
Pada saat itu, Presiden Soeharto tidak berada di Ibu Kota Jakarta dan tengah melakukan kunjungan ke Kairo, Mesir. Tanggal 15 Mei 1998, Presiden Soeharto bersama rombongan mendarat di Halim Perdanakusuma menanggapi apa yang terjadi ditanah air, berbagai upaya dilakukan untuk menyikapi persoalan tetapi penanganan dan penanggulangan tidak meredupkan kekacauan dan kerusuhan. Tekanan demonstran agar Presiden Soeharto mundur dari jabatan membuat situasi semakin tidak terkendali.
Pada 18 Mei 1998 mahasiswa bersama aksi massa yang melibatkan berbagai elemen masyarakat mendatangi dan menduduki Gedung MPR/DPR, menuntut pengunduran diri Soeharto sebagai Presiden. Empat tuntutan yang diajukan antara lain : pemerintah harus segera mengatasi krisis ekonomi, menuntut dilaksanakannya reformasi di segala bidang, dilaksanakannya Sidang Istimewa MPR dan meminta pertanggungjawaban Presiden. Ketua DPR/MPR, Harmoko mendesak Presiden Soeharto agar mundur dari jabatan Presiden.
Puncak peristiwa yang terjadi, 27 tahun lalu melalui pidato singkatnya Presiden Soeharto menyatakan mundur dari jabatan, disaksikan oleh para pejabat tinggi negara pada Kamis, 21 Mei 1998 pukul 09.05 WIB di Istana Merdeka, Jakarta. Pengunduran diri Presiden Soeharto menandai berakhirnya era Orde Baru selama 32 tahun berkuasa dan membuka era "Reformasi". Wakil Presiden B.J. Habibie dilantik sebagai Presiden Ke-3 Mandataris MPR berdasarkan Pasal 8 UUD 1945 asli. Berbagai media turut menyiarkan dan jutaan masyarakat merayakan momen runtuhnya era Orde Baru. Mengingatkan kembali, terutama untuk Generasi milenial atau Generasi Z (Gen Z), 6 Tuntutan Reformasi Mei 1998 :
1. Adili Soeharto dan kroni-kroninya
2. Laksanakan amandemen UUD 1945
3. Hapuskan Dwi Fungsi ABRI
4. Pelaksanaan otonomi daerah yang seluas-luasnya
5. Tegakkan supremasi hukum
6. Ciptakan pemerintahan yang bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Pertanyaannya, apakah 6 tuntutan tersebut sudah berhasil dipenuhi ?
Di bawah kepemimpinan B.J. Habibie, rakyat mulai merasakan kebebasan berpendapat, kemerdekaan pers, serta reformasi hukum dan militer. Dwifungsi ABRI dikikis, peran militer di parlemen dikurangi, dan Polri dipisahkan dari ABRI. Pada 21 Mei 1998 awal dimulainya era Reformasi yang membawa perubahan besar dalam sistem pemerintahan, bukan sekadar mengenang peristiwa atau momentum politik, tetapi sebagai refleksi atas perjuangan rakyat atau berbagai elemen masyarakat dan mahasiswa dalam menuntut keadilan, demokrasi, dan tata kelola negara yang lebih baik berpihak pada seluruh rakyat. Dampak era Reformasi membawa pelbagai perubahan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dengan agenda utama Reformasi yang meliputi amandemen UUD 1945, pembatasan masa jabatan presiden, penguatan lembaga negara, penegakan hak asasi manusia, dan pemberantasan KKN. Transisi menuju era baru yang mengarah pada revisi konstitusi.
Reformasi ke-27 tahun lenyap, tertutup oleh masalah-masalah rumit dan krusial yang tengah dihadapi bangsa dan negara ini, guncangan masih terjadi dan diperkirakan lebih dahsyat dari 1998. Turbulensi atau ketidakpastian hukum yakni Undang- Undang, Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman. Elitis memegang Undang-Undang dan Elit mengendalikan Kepolisian, memegang Kehakiman.
Mahasiswa-mahasiswi kini kerapkali bersuara menentang dan melawan isu nasional, karena kelakukan Elitis tetapi lupa membawa isu yang ada di masyarakat. Padahal ketika memperjuangkan isu yang ada di bawah, di situlah kepercayaan masyarakat kepada mahasiswa diraih, namun banyak mahasiswa tidak tahu kondisi yang sebenarnya terjadi dan belum lagi Elitis begitu lihai dalam menyuap lewat kesenangan semu sehingga tidak sedikit mahasiswa dan masyarakat yang terjebak dalam pemikiran jika bangsa dan negara ini dalam keadaan baik-baik saja.
Mengapa pergerakan mahasiswa bersama masyarakat tidak menjadi SATU SUARA ? Gerakan mahasiswa itu harus memiliki, "Trust" karena percuma saja kalau mahasiswa berulang kali menyelenggarakan aksi demonstrasi sudah tidak dipercaya oleh masyarakat seperti halnya yang dilakukan oleh sejumlah LSM atau Ormas yang didirikan dan dibentuk di era Reformasi saat ini yang selalu saja memperjuangkan kepentingan diri sendiri dengan memanfaatkan banyak orang yang dijadikan anggota perkumpulan atau organisasi.
Mahasiswa harus menjadi panutan, pembimbing dan pendamping bagi masyarakat bahkan menjelang 1998, buruh dan petani diajarkan berdemonstrasi oleh mahasiswa.
Karena, "DULU POLANYA PEMBUNGKAMAN MELALUI RASA TAKUT KALAU SEKARANG PEMBUNGKAMAN LEWAT RASA SENANG DAPAT UANG BELI MOBIL BELI RUMAH DAN SEBAGAINYA" dan itu yang menjebak kita sekarang ! Aset atau harta pemuda dan mahasiswa adalah idealisme, ungkapan dari tokoh pejuang kemerdekaan, Tan Malaka.
Majunya suatu bangsa dan negara adalah idealisme pemuda-pemudinya dan mahasiswa-mahasiswinya. "Lebih baik diasingkan dari pada hidup dalam kemunafikan". Mahasiswa-mahasiswi bersama pemuda-pemudi akan terus memiliki peran dan harus terus berperan untuk bangsa dan negara. Era atau menjelang 1998 dapat diraih melalui elaborasi keresahan yang ada di masyarakat dan tidak ketinggalan peran pers yang terus menyajikan opini dan realita ke masyarakat dari berbagai permasalahan dan peristiwa yang tengah dihadapi bangsa dan negara.
Dampak Reformasi pada 21 Mei 1998 adalah terjadinya pemilihan Presiden/Wakil Presiden atau Kepala daerah/Wakil Kepala daerah secara langsung, struktur Legislatif yang dirubah, penghapusan larangan terhadap partai politik baru, media massa bebas menyuarakan pandangan, rakyat memiliki kesempatan mengkritik, dalam penggunaan hak kebebasan mengemukakan pendapat di muka umum seperti unjuk rasa atau demonstrasi harus memegang prinsip bebas dan bertanggung jawab artinya segala ide atau pendapat yang dikemukakan harus dilandasi niat baik demi kepentingan seluruh lapisan masyarakat bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok dan norma-norma yang tidak bertentangan dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945.
Akhir rangkaian peristiwa dan artikel, dipersembahkan mengenang, "BIMO DAN KAWAN-KAWAN PERGERAKAN DI REZIM ORDE BARU". Melalui media massa ini himbauan doa dipanjatkan untuk seluruh kawan-kawan yang hilang atau telah gugur dalam Gerakan Perubahan menjelang dan pasca Reformasi, "AL FATIHAH" dan bagi yang beragama lain mohon disesuaikan menurut keyakinan masing-masing.
"Tekad yang telah dipancarkan menjadi inspirasi generasi, jiwa dan raga pengorbanan tidak pernah terlupakan. { * }
Kontributor : Eko Gagak
dibaca
Posting Komentar