Media Suara Rakyat Indonesia.id

DBD Melanda Warga Kepatihan, Diduga Pemerintah Desa Lalai Tak Punya Kepekaan

DBD Melanda Warga Kepatihan, Diduga Pemerintah Desa Lalai Tak Punya Kepekaan
Dok, foto: Salah Satu warga Desa Kepatihan, Gresik - Jawa Timur terkena DBD dan Opname di RS. BDH hingga sampai sekarang. Jumat 23 Mei 2025.


MSRI, GRESIK - Gelombang penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) melanda Desa Kepatihan, Kecamatan Menganti, Kabupaten Gresik. Tiga warga jatuh sakit hanya dalam waktu seminggu terakhir. Namun alih-alih bergerak cepat, Pemerintah Desa Kepatihan justru menunjukkan sikap pasif, lamban, bahkan nyaris apatis dalam merespons situasi darurat ini.

Salah satu warga setempat, sebut saja Siti, yang menjadi korban terbaru, harus menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit Bakti Dharma Husada (BDH) Surabaya setelah mengalami demam tinggi dan gejala khas DBD. “Kalau tidak segera ditangani di IGD, saya tidak tahu apa yang terjadi. Untung saja rumah sakit tanggap,” ujarnya.

Namun kekecewaan justru datang bukan dari pelayanan medis, melainkan dari ketidakpedulian Aparatur Pemerintah Desa Kepatihan. Suami Siti, Gustaf, menyebut dalam seminggu terakhir sudah tiga kasus DBD muncul di lingkungan RT mereka. Tapi tidak sekalipun ada langkah konkret dari Pemdes.

“Fogging tidak dilakukan. Pemantauan lingkungan nihil. Bahkan sekadar imbauan atau penyuluhan pun tidak ada. Pemerintah desa seperti menunggu warga mati satu per satu baru mau bergerak,” kecam Gustaf, yang juga mengungkap bahwa anaknya sempat dirawat 10 hari akibat DBD.

Lebih jauh, ia menyebut kasus ini bukan insiden pertama. “Anak RT kami juga terjangkit. Ini sudah menjadi pola berulang. Tapi Pemerintah Desa Kepatihan tetap bersikap dingin dan tutup mata, seolah ini bukan tanggung jawab mereka. Mereka lebih sibuk mengurusi proyek bangunan daripada nyawa warganya,” ujarnya tajam.

Sikap acuh ini semakin menambah amarah warga. Pasalnya, anggaran desa terus digelontorkan untuk pembangunan fisik dengan nilai ratusan juta rupiah. Namun untuk pengasapan dan penyuluhan, tak satu pun tanda-tanda tindakan muncul. Dalam benak warga, kesehatan hanya menjadi nomor ke sekian bahkan mungkin tak dianggap penting oleh Pemdes Kepatihan.

Saat dikonfirmasi, Kepala Desa Kepatihan justru menyalahkan warga yang tidak melapor. “Kalau tidak ada laporan, kami tidak tahu,” ujarnya. Pernyataan ini kian membuktikan betapa Pemdes Kepatihan tidak memiliki sistem pengawasan dini terhadap wabah, dan menggantungkan seluruh tanggung jawab pada warga.

“Ini bukan soal warga lapor atau tidak. Pemerintah desa seharusnya aktif. Mereka punya anggaran, punya perangkat. Tapi mereka memilih diam,” cetus salah satu tokoh masyarakat yang enggan disebutkan namanya.

Pemerintah Desa Kepatihan telah menunjukkan kegagalan serius dalam menjalankan fungsi pelayanan dasar. Ketika nyawa warga dipertaruhkan, Pemdes justru memilih bersembunyi di balik meja, alih-alih hadir di tengah masyarakat.

Penyakit bisa dicegah, nyawa bisa diselamatkan, jika pemimpinnya peduli. Tapi di Kepatihan, nyawa warga dikorbankan demi ambisi proyek dan kelalaian birokrasi.

{ Tof }

Baca Juga

dibaca

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama
Media Suara Rakyat Indonesia.id